Jakarta, 23 Desember 2020 – POP TB Indonesia mengadakan pertemuan konsutasi panduan literasi HAM dan kesetaraan gender bagi jejaring POP TB Indonesia. Pertemuan ini diadakan selama 3 hari berturut-turut dari tanggal 21 – 23 Desember 2020. Pertemuan ini merupakan rangkaian ke dua dari konsultasi panduan literasi HAM dan kesetaraan gender yang sebelumnya diadakan pada tanggal 10 Desember 2020. Pada rangkaian sebelumnya peserta terbatas hanya beberapa perwakilan organisasi, pada pertemuan kali ini, POP TB Indonesia mengundang semua jejaring POP TB Indonesia untuk ikut serta. Rangkaian ini akan ditutup pada pertemuan terakhir yang rencananya dilakukan pada awal Q1 2021.
Pertemuan ini dihadiri oleh seluruh anggota jejari POP TB Indonesia, yang dihadiri juga oleh perwakilan dari pemangku kepentingan dan mitra POP TB Indonesia yakni antara lain: Sub Direktorat TB, P2PML, WHO Indonesia, USAID (TB Private Sector), Yayasan KNCV Indonesia, Indonesia AIDS Coalition, Spiritia dan Yayasan Redline. Pertemuan ini dilakukan secara daring melalui aplikasi zoom, karena selain masih dalam masa pandemi, juga untuk mempermudah terjangkaunya semua perwakilan daerah dari barat hingga ke timur. Fasilitator pertemuan ini adalah Albert Wirya mewakili Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Ayu Oktariani mewakili Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)

Hak Asasi Manusia (HAM), stigma dan diskriminasi masih menjadi persoalan yang sering terjadi dan menghambat akses pasien TB. Bentuk stigma yang diterima pasien TB diantaranya adalah kerahasiaan penyakit (privasinya), permasalahan di tempat kerja, penolakan untuk mendapatkan perawatan yang berkualitas, layanan yang tidak ramah, tidak mendapatkan pelayanan pengobatan yang sesuai dengan SPM (Standar Pelayanan Minimum), masalah kekerasan berbasis gender, dan sebagainya. Hal ini masih menjadi akar masalah yang belum selesai hingga saat ini. Stigma dan diskriminasi masih menghambat pemenuhan hak pasien TB dan penyintas TB, hal ini diakibatkan kurangnya pendalaman tentang bagaimana kerentanan pasien berpengaruh terhadap pelanggaran hak.
Salah satu pengalaman pelanggaran HAM dialami oleh Ibu Ani, beliau dahulu melahirkan ketika jalan 10 bulan pengobatan TBC-RO (Red: pengobatan 10 bulan, kuman TBC sudah tidak menularkan), ketika di UGD Ibu Ani langsung di isolasi dan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari petugas kesehatan. “Ini pasien TBC-RO!”, lalu dokter dan perawat yang masuk ruangan langsung mencari masker. Tidak diberi pereda nyeri, ditaruh satu ruangan dengan pasien TBC-RO aktif, tidak diberikan tindakan yang sesuai dan bayinya tidak diperhatikan. Ini merupakan pelanggaran HAM yang sering terjadi. Dalam “Deklarasi Hak orang terdampak TBC” pasal 6, orang yang terdampak TBC memiliki hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi di semua bidang dalam kehidupan mereka, termasuk kelahiran anak dan menjadi ibu. “perempuan hamil yang memiliki TBC tetap mempunyai hak untuk diperlakukan dengan baik dan tidak direndahkan” tambah bu Ani.

Diharapkan pertemuan konsultasi panduan literasi HAM dan gender ini dapat menghasilkan panduan sensitisasi mengenai isu yang berkaitan dengan komunitas, HAM dan gender (jilid 2) yang dihadapi oleh kelompok masyarakat terdampak TB (pasien, keluarga, ODHA, kaum miskin perkotaan/pedesaan, penambang, buruh pabrik, pengguna NAPZA dan suntik, tuna wisma).